Kisah Mbah Darmi, Nenek 95 Tahun yang Menjadi Penambal Ban

Jannet 21.11
Mbah Darmi di gubug sekaligus bengkelnya di Semarang, Kamis (22/12). Foto oleh Fariz Fardianto/Rappler
Mbah Darmi di gubug sekaligus bengkelnya di Semarang, Kamis (22/12). Foto oleh Fariz Fardianto/Rappler

SEMARANG, Indonesia - Mbah Darmi sesekali menyeka keningnya yang basah oleh keringat. Nafasnya terdengar begitu berat. Namun wanita kelahiran 1921 ini tak sedikit pun mengeluh.

Ia terus berkutat dengan ban sepeda motor yang sedang ditambalnya. Kedua tangannya yang keriput terlihat begitu kontras dengan velg sepeda motor yang kinclong.

Untuk wanita dengan usia hampir 100 tahun, Mbah Darmi memang sudah terlalu tua untuk menjadi penambal ban. Namun ia tak punya pilihan lain.

“Saya tidak mau menyusahkan mereka. Lebih baik saya cari makan sendiri," kata Mbah Darmi kepada Rappler yang menemuinya pada Kamis, 22 Desember 2016.

Mereka yang dimaksud Mbah Darmi adalah tiga anaknya. Mereka sudah berkeluarga dan tinggal di luar kota. Sehingga Mbah Darmi praktis hidup sendiri di rumah sekaligus bengkel tambal bannya.

Rumah itu pun tak bisa disebut rumah. Sebab bangunan itu hanya berupa gubug reyot yang masih berdiri karena bersandar pada tembok Stadion Diponegoro.

Ranjang tidur Mbah Darmi pun hanya selembar papan kayu yang dilapisi busa dan kain. Jika hujan, Mbah Darmi harus beradu lincah dengan butir-butir hujan yang menerobos atap rumahnya.

“Saya lahir di Solo, tepatnya di kampung dekat tepi Sungai Bengawan Solo, kira-kira tahun 1921,” kata Mbah Darmi kepada Rappler setelah selesai menambal ban.

Saat itu, tutur Mbah Darmi, kehidupannya lumayan makmur. Keluarganya memiliki sawah yang subur. Mereka tak pernah kekurangan. Asap dapur tak pernah berhenti mengebul.

Mbah Darmi di gubug sekaligus bengkelnya di Semarang, Kamis (22/12). Foto oleh Fariz Fardianto/Rapplerd
Mbah Darmi di gubug sekaligus bengkelnya di Semarang, Kamis (22/12). Foto oleh Fariz Fardianto/Rapplerd

Sampai rencana pembangunan jembatan yang menghubungkan dua desa di tepi sungai Bengawan Solo itu datang. Pemerintahan Kolonial Belanda saat itu melakukan pembebasan tanah secara besar-besaran.

Rumah-rumah dan sawah penduduk digusur, diganti dengan tiang-tiang pancang jembatan. Mbah Darmi, bersama penduduk lain, pun terpaksa meninggalkan desa.

Ia berpisah dengan keluarganya. Saat itu, sang ayah hanya memberikan secarik kertas berisi identitas dirinya. Sejak itu, hidupnya tak pernah lagi sama.

Mbah Darmi berjalan kaki menyusuri kota demi kota. Seringkali ia tidur di pinggir jalan beralaskan secarik kertas pemberian ayahnya. “Saya hanya berpikir gimana caranya biar bisa makan di hari itu," kata Mbah Darmi.

Langkah kaki membawanya ke Kota Semarang. Sempat mencari-cari tempat tinggal di pusat kota, Mbah Darmi akhirnya terdampar di lokasi yang sekarang menjadi Stadion Diponegoro. "Ya seperti itulah,” katanya lirih.

Dari tempat ini ia menjadi saksi hengkangnya Belanda, kedatangan tentara Jepang, hingga kemerdekaan Indonesia. Zaman berubah, namun roda nasibnya tak kunjung berputar. Mbah Darmi masih terlunta-lunta di usia yang sudah begitu senja.

Simpati seringkali datang dari warga. Salah satunya dari Ayunda Rahmawati. "Kasihan pas lihat dia nambal ban. Apalagi saat tahu dia tinggal di gubuk yang sangat tidak layak," kata Ayu.

Warga lain bernama Jufri yang tinggal tak jauh dari gubug Mbah Darmi mengatakan, sejak suaminya meninggal, Mbah Darmi tinggal sendiri di gubug tersebut. “Saya kasihan kalau lihat rumahnya bocor saat hujan," kata Jufri.

Sementara Kepala Dinas Sosial Semarang Gurun Riyatmoko mengatakan Mbah Darmi seharusnya mendapatkan bantuan Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas). "Biar nanti dilihat apakah Mbah Darmi bisa mendapat bantuan berupa uang atau barang lainnya,” kata Gurun Riyatmoko. 

Source: Rappler.com

Artikel Terkait

Previous
Next Post »

EmoticonEmoticon

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.