TEMPO.CO, Jakarta - Klub-klub Cina terus membakar uang. Begitu kerasahan yang muncul di media massa Tiongkok belakangan ini. Keresahan itu pun bersambut tindakan. Pengelola kompetisi Liga Super Cina berniat membatasi jumlah pemain asing menjadi tiga saja (sebelumnya boleh lima), ditambah satu pemain Asia. Hal itu dimaksudkan untuk memberikan kesempatan bermain yang luas bagi pemain lokal.
Pembatasan itu wajar dilakukan. Sejak tahun lalu, klub-klub Cina benar-benar jor-joran dalam melakukan belanja pemain. Yang terbaru, Shanghai SIPG merektur Oscar dari klub Inggris, Chelsea. Akhir tahun lalu, gelandang Brasil itu dibeli seharga 58 juta pound sterling (Rp 937 miliar).
Hanya selang beberapa hari, klub Shanghai Shenhua juga mendatangkan penyerang veteran asal Argnetina, Carlos Tevez. Mantan pemain Manchester United dan Manchester City ini digaji 615 ribu pound (Rp 9,9 miliar) per minggu, membuatnya jadi pemain bergaji termahal di dunia, mengalahkan Lionel Messi dan Cristiano Ronaldo.
Kedua pemain itu menambah deretan pemain bintang yang berlaga di Cina. Sebelumnya sudah ada Hulk (Shanghai SIPG), Demba Ba, Obafemi Martins, Fredy Guarin (Shanghai Shenhua), Gervinho, Stephane Mbia (Hebei China Fortune), Paulinho, Jackson Martínez (Guangzhou Evergrande), Papiss Cisse, Graziano Pelle (Shandong Luneng).
Sempat pula muncul kabar bahwa klub-klub di sana ikut mengincar Zlatan Ibrahimovic, Yaya Toure, Wayne Rooney, bahkan Cristiano Ronaldo dengan harga dan tawaran gaji yang luar biasa. Penyerang Chelsea, Diego Costa, juga diincar klub Tianjin Quanjian yang siap memberi tawaran 80 juta pound sterling (Rp 1,2 triliun).
Sepanjang 2016, klub Liga Super Cina menghabiskan 470 juta euro (Rp 6,6 triliun) untuk membeli pemain. Saat ini ada 96 pemain dari 32 negara yang berlaga di negara itu.
Lalu, dari mana semua dana klub-klub itu berasal? Kebanyakan dari investor kaya yang menjadi pemodal klub-klub tersebut.
Semuanya itu bermula dari keinginan Presiden Cina, Xi Jinping, yang menginginkan sepak bola Cina menjadi yang terbaik di dunia. Ia menargetkan ekonomi olahraga di Cina bisa bernilai US$ 850 miliar (Rp 11.339 tirliun) pada 2025, dengan berbasis dari investasi negara dan swasta. Hasrat itu langsung disambut para pelaku usaha di negara itu.
Guangzhou Evergrande, klub tersuskes di Cina, didukung oleh perusahaan konstruksi terbesar Cina, Evergrande Group (60%), dan Alibaba (40%). Jiangsu Suning dimiliki oleh Suning Commerce Group, salah satu jaringan ritel terbesar di negara itu. Saham Beijing Guoan mayoritas dipegang oleh CITIC Group, perusahaan investasi milik negara. Jadi, hampir tiap klub disokong oleh kepemilikan atau sponsor perusahaan besar.
Klub juga mendapat bagian dari hak siar televisi yang jumlahnya cukup besar. Hak siar Liga Cina dibeli televisi seharga US$ 1,25 miliar (Rp 16,6 triliun) untuk jangka waktu lima tahun. Jadi selama 2016 saja pengelola liga akan mendapat US$ 200 juta (Rp 2,6 triliun), yang antara lain disebar ke klub-klub.
Pembatasan aturan jumlah pemain asing mungkin sedikit mengerem jumlah pemain bintang yang datang, tapi melihat tren yang ada, uang yang dimiliki klub Cina untuk mendatangkan pemain bintang tetap berlimpah. Jadi, jangan kaget bila suata saat menyaksikan Ronaldo, atau Neymar berlabuh di kompetisi negara ini. DW | DAILY MAIL | GUARDIAN | NURDIN
Lionel Messi,
Source: Tempo.co
EmoticonEmoticon
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.